PERILAKU PELAKU BISNIS ROKOK
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang
antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan
diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang
telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara
agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.
Rokok biasanya dijual dalam
bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke
dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga
umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya
kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker
paru-paru atau serangan
jantung (walaupun pada
kenyataannya itu hanya tinggal hiasan, jarang sekali dipatuhi).
Manusia di dunia yang merokok untuk
pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual
seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua
Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap
rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai
muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang
merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan
semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu
kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.
Telah banyak riset yang membuktikan
bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak
tipe kanker,penyakit
jantung, penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi
kelahiran, dan emfisema.
Perilaku Pelaku Bisnis Rokok
Rokok mempunyai 2 sisi yang saling
bertolakbelakang. Di suatu sisi menguntungkan namun di sisi lain menimbulkan
efek yang cukup berbahaya, bagai makan buah simalakama. Kenapa bisa dibilang
menguntungkan? Coba kita lihat kondisi negara kita. Indonesia mendapat sebutan
negeri rokok atau negeri tembakau. Selain jumlah perokok aktifnya termasuk
dalam lima besar di dunia, jumlah pabrik rokok di negeri ini rupanya yang
terbanyak di seantero jagad. Perizinan pendirian tempat produksi rokok memang
relatif mudah. Kini kita punya sedikitnya 3.800 pabrik rokok, termasuk kelas
rumahan. Jumlah itu terbesar di seluruh dunia. Sekitar 3.000 pabrik rokok ada
di dua provinsi, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua daerah itu juga termasuk
sebagai penghasil tembakau terbesar di Jawa ataupun secara nasional. Cukai dari
produksi seluruh pabrik rokok berdasarkan tingkat produksi totalnya sepanjang
tahun lalu mampu menghasilkan Rp 56,4 triliun sebagai penerimaan negara.
Kondisi itu hanya kalah dari penerimaan yang diperoleh negara dari pajak PPN
sebesar Rp 700 triliun. Jumlah itu juga jauh lebih besar daripada cukai minuman
beralkohol yang besarnya Rp 1 triliun.
Kontroversi
adanya rokok di masyarakat juga memicu polemik terhadap pelaku bisnis rokoknya
sendiri. Karena pelaku bisnis hanya memikirkan bagaimana usahanya bisa berjalan
lancar tanpa memikirkan apa yang mereka produksi itu berbahaya atau mematikan. Seperti
yang tertera pada kemasan rokok pada umumnya, bahwa rokok dapat menyebabkan
kanker, serangan jantung dan sebagainya. Bisa disebut bahwa pengusaha rokok
bagaikan lintah darat yang menghisap keuntungan dan tidak memperdulikan akibat
dari semua itu. Sekarang coba kita lihat Robert Budi Hartono, salah satu orang terkaya di Indonesia. Namanya
berkali-kali masuk majalah Forbes saat majalah tersebut mengumumkan siapa saja
orang terkaya di dunia setiap tahunnya. Tahun 2005 kekayaan Budi Hartono
sebesar US$ 2,3 miliar. Pada tahun 2012, Forbes mencatat kekayaannya sebesar
US$13 milyar.
Budi
Hartono sepertinya tahu, merokok adalah lambang kebodohan, dan dia bukan orang
bodoh. Dia jual rokok kepada rakyat Indonesia, namun dia sendiri tak merokok.
Ini menarik, biasanya pemilik perusahaan sukses bangga dengan menggunakan
produknya sendiri. Bill Gates misalnya menggunakan produk Windows. Steve Jobs
bangga memakai produk Apple. Dan Budi Hartono? Dia bukan perokok, jadi dia tak
merokok Djarum. Karena tak merokok, jadilah Budi Hartono dapat fokus mengembangkan
Djarum sebagai perusahaan tersukses di Indonesia. Namun dengan segala konsekuensi negatif yang ada
harus kita akui bersama bahwa pelaku bisnis rokok turut membantu pembangunan
negara baik dari segi perekonomian dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Komentar
Posting Komentar